PALEMBANG DALAM DINAMIKA SEJARAH:
Pendekatan Sejarah Visioner
Oleh:
Nor Huda
Dosen Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Raden Fatah Palembang
Indonesia masih ketinggalan dalam pendidikan
untuk mencintai tanah air lewat keindahan
sejarah.
Bahkan, kita melihat adanya vandalisme
terhadap bangunan bersejarah.
Bersama sejarah, kita belajar jatuh cinta
(Kuntowijoyo, 1995: 31)
Pengantar
Tema ini diangkat sebagai pangkal diskusi
dalam upaya untuk merenungkan kembali pemahaman kita tentang makna dari
perjalanan sejarah masyarakat dan Pemerintah Kota Palembang sebagai proses
kesinambungan (contunuity) dan
perubahan (change). Kesinambungan dan
perubahan ini merupakan dinamika perjalanan masyarakat yang menyangkut tiga
entitas waktu: kelampauan (past), kekinian
(present), dan kemasadatangan (future).[1]
Perspektif dan visi sejarah seperti ini dapat ini dapat dipahami keterkaitan
masa kini yang sedang dihadapi oleh masyarakat dengan persoalan masa lampau dan
masa yang akan datang. Dengan demikian, sejarah sebagai salah satu cabang ilmu
yang memiliki kontribusi dalam pembangunan.
Sesunggugnya, sejarah tidak
hanya membicarakan masa lalu untuk masa lalu itu sendiri. Sikap ini adalah antiquarian.
Sejarah memiliki kegunaan untuk masa kini, karena masa sekarang dibentuk oleh
masa lalunya. Karena itu, apa yang kita lakukan pada masa kini sangat
menentukan masa yang akan datang. Masa kini tidak dapat dipahami tanpa
pemahaman masa lampau dan masa yang akan datang. Menurut John Luckas, pada hakikatnya,
masa kini merupakan hasil proses pergulatan dan pergumulan antara faktor-faktor
“dorong” (push) dan “tarik” (pull) dari masa lampau dan masa yang
akan datang di satu pihak, dan faktor-faktor endogen dan eksogen pada pihak
lain. Faktor-faktor inilah yang menandai inti dinamika sejarah masa kini.[2]
Salah satu tugas sejarawan adalah melacak perjalanan kehidupan masyarakat
Indonesia dalam kontinum masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.
Tujuannya, agar peristiwa sejarah dapat dipetik manfaatnya dalam memahami dan
membantu pemecahan persoalan-persoalan masa kini. Berdasarkan pemahaman masa
kini pulalah kita dapat membantu dalam merencanakan kebijakan masyarakatnya
dalaam menentukan arah perjalanan sejarah masa datang.
Tulisan pendek ini berupaya
menganalisis beberapa persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan Pemerintah Kota
Palembang dengan pendekatan sejarah visioner.[3]
Perspektif ini mengaitkan persoalan-persoalan masa masa kini dengan masa lalu
dan masa yang akan datang. Meskipun tidak sepenuhnya dapat menyelesaikan
problematika yang dihadapi Pemerintah dan masyarakat Kota Palembang, tetapi
setidaknya, tulisan ini merupakan salah satu bentuk kepedulian penulis terhadap
Kota “Pempek” ini.
Njingok Masa
Lalu Palembang: Denget Bae
Palembang merupakan salah satu kota tua,
bahkan tertua, di Indonesia. Kota ini diperkirakan berdiri sekitar tahun 682M. Kini,
usia Palembang sudah mencapai lebih dari 13 abad. Rentang sejarah yang demikian
panjang tentu saja telah mewarnai dinamika perkembangan Palembang. Banyak
warisan yang ditinggalkan oleh masa lalu Palembang kepada kita di masa kini,
baik berupa artifact, sociofact, maupun mentifact. Peninggalan
berupa artefact, misalnya: prasasti Kedukan Bukit, sisa-sisa reruntuhan
bekas Kerajaan Sriwijaya, Masjid Agung, Benteng Kuto Besak, Kota Tua
Belanda di sepanjang Jalan Merdeka dan Kambang Iwak, Palembang, dan sebagainya.
Sociofact, misalnya, banyak dijumpainya komunitas masyarakat Palembang
yang beragam: komunitas Melayu, Jawa, Banjar, Bugis, Madura, Arab, India, dan
China. Berkembangnya beragam agama Budha, Konghucu, Islam, dan bahkan aliran
kepercayaan di Palembang merupakan fakta-fakta sejarah yang berupa mentalitas (mentifact).
Keragaman
tersebut menunjukkan masyarakat Palembang merupakan masyarakat yang terbuka (welcome)
terhadap setiap kelompok yang berbeda. Mereka mempunyai tingkat toleransi yang
tinggi terhadap setiap perbedaan. Kondisi ini mendukung terjadinya asimilasi dan
akulturasi budaya di Palembang, sebuah kebudayaan yang khas Palembang. Bahasa
Palembang yang merupakan percampuran antara Bahasa Jawa dan Melayu adalah salah
satu contohnya.[4]
Contoh yang lain adalah legenda Pulau Kemaro. Legenda ini menggambarkan terjadinya
asimilasi kebudayaan di Palembang melalui jalur pernikahan. Dalam legenda itu dikisahkan
pernikahan antara Puteri Sriwijaya (Siti Fathimah) dengan Pangeran dari Negeri
China (Tan Bun Ann) yang berakhir tragis. Akulturasi budaya juga tampak dalam
arsitektur Masjid Agung Palembang. Masjid merupakan akulturasi dari tiga
kebudayaan: Indonesia, China (atap masjid), dan Eropa (pintu gerbang masjid).[5]
Tingkat
asimilasi dan akulturasi yang tinggi di Palembang tampaknya didukung oleh
kondisi topografi dan geografi Palembang itu sendiri. Secara topografis,
Palembang adalah suatu kota waterfont, yang menghadap ke air (Sungai
Musi) dengan anak-anak sungai yang besar dan kecil memotong tepiannya sehingga
membentuk sebuah laguna.[6] Sungai Musi
dapat dilayari oleh kapal-kapal dari muaranya di Muara Sungsang sampai ke
pelabuhan yang berada di tengah-tengah Kota Palembang. Kota ini adalah pusat dengan
Batanghari Sembilannya, sebagai pintu masuk dan keluar yang penting bagi
Sumatera Selatan dan sebagai pertemuan perhubungan darat dan laut.[7]
Kondisi
topografis dan geografis yang demikian telah mendukung Kota Palembang sebagai pusat
ekonomis dan bisnis di Sumatera. Kebesaran Palembang sebagai kota dagang
distributor untuk daerah luar Palembang dan sebagai penghubung jaringan
perdagangan pusat-pusat perniagaan Hindia Belanda bagian barat. Buktinya,
Palembang mendapat julukan sebagai de groote handelstad van Sumatera, state
of production, commerce and trade, dan stete of estates.
Julukan-julukan ini menegaskan bahwa semua urusan bisnis sangat dominan di
Palembang.[8]
Begitu
pentingnya transportasi air bagi masyarakat kota yang berjuluk “Venesia Dari
Timur” ini, maka banyak dijumpai rumah rakit di tepian Sungai Musi dan anak
sungainya. Sevenhoven melukiskan rumah rakit sebagai berikut:
Rumah-rumah rakit itu dibangun yang terdiri dari
balok-balok yang dijalin dengan bambu dan ditambatkan pada tepi sungai atau
pada tiang-tiang yang ditanam dalam tanah dengan jalinan rotan yang jauh lebih
kuat daripada tali rami. Rakit-rakit itu naik turun bersama-sama dengan pasang
surut air. Rakit-rakit itu dihubungkan dengan daraatan oleh jembatan-jembatan
terapung; kadang orang datang dan pergi dari rakit-rakit itu dengan
mempergunakan perahu-perahu kecil.[9]
Pada masa Hindia Belanda, rumah rakit
merupakan sebuah tempat tinggal yang menyenangkan. Selain berhawa sejuk karena
dapat menangkap angin dari segala penjuru, rumah rakit juga dekat dengan air
sungai yang memudahkan mereka untuk memelihara kesehatan.
Di samping itu, dalam
sejarahnya, Palembangjuga dikenal sebagai kota intelektual. Pada masa kejayaan
Sriwijaya, Palembang merupakan pusat studi agama Budha. Sebelum calon-calon
Bikhshu itu belajar lebih lanjut ke India, mereka harus belajar dulu di
Palembang. Nama Syakyakirti adalah mahaguru agama Buddha yang sangat terkenal
pada masa itu. Tradisi Palembang sebagai intelektual dilanjutkan oleh kesultanan.
Ketika Sriwijaya hancur dan Palembang menjadi pusat Kesultanan, kota ini juga
menjadi pusat intelektual Islam. Hal ini dibuktikan dengan munculnya
ulama-ulama yang memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. Beberapa di
antaranya dapat disebutkan nama-namanya: Syaikh Muhammad ‘Aqib bin Hasanuddin,
Syaikh Muhammad Azhary bin Abdullah bin Ahmad (1811-1874 M), Masagus haji Abdul
hamid bin Mahmud (1811-1901 M); dan ulama yang paling terkenal di Palembang
adalah ‘Abd al-Shamad al-Palimbani. Palembang menjadi pusat studi Islam dan
sastra (1750-1820) setelah kemunduruan Aceh. Kebiasaan memelihara ulama keraton
telah dirintis sejak zaman Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757).[10]
Sejak itulah muncul nama-nama ulama besar dari Palembang.
Kemolekan dan potensi Kota
Palembang tersebut telah menarik minat orang-orang datang ke Palembang. Arus
migrasi ke Kota Palembang memicu pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Berdasar
catatan van den Heuvel, pada 1880-an jumlah penduduk Palembang sekitar 60.000-an.[11]
Sekitar satu abad kemudian, yaitu pada 1930, jumlah penduduk Palembang sekitar
100.000 jiwa, dan menjadi 150.000 jiwa pada 1940. Sampai 1955, penduduk
Palembang diperkirakan mencapai 400.000 jiwa, tetapi yang terdaftar secara
resmi hanya sekitar 285.348 jiwa saja. Penduduk yang tidak terdaftar ini
umumnya adalah pendatang (tumpang)
yang berasal dari desa-desa di sekitar Sumatera Selatan.[12]
Sementara itu, pada 1960, jumlah penduduk Palembang diperkiran telah mencapai
800.000 jiwa. Kini, 2012, jumlah penduduk Palembang telah mencapai 1.611.309
jiwa yang mendiami wilayah seluas 369,22 kilometer persegi.
Ada beberapa faktor yang
mendorong masyarakat untuk pindah ke Palembang dan menodorng tingginya laju
pertumbuhan penduduk Kota Palembang. Di antara faktor-faktor itu adalah: [1]
cukup tersedianya mata pencaharian, [2] adanya perusahaan minyka Plaju dan
Sungai Gerong, [3] Palembang sebagai kota air dan udara, dan [3] proses
migrasi.[13]
Adapun yang mendorong terjadinya urbanisasi ke Palembang adalah: [a] karena
dorongan perjuangan mempertahankan kemerdekan tanah air, [b] karena ingin
melanjutkan studi, dan [c] karena daya tarik kehidupan di perkotaan.[14]
Pertumbuhan penduduk yang
sangat cepat tentu saja akan menimbulkan persoalan tersendiri dalam penataan
ruang Kota Palembang. Namun, pembangunan dan penataan Kota Palembang terus dan
harus dilakukan. Pada masa kesultanan, cukup disadari bahwa Palembang merupakan
wilayah perairan. Karena itu, sultan membagi wilayah-wilayah itu berdasarkan
tata “ruang air”. Namun, tata “ruang air” ini dianggap ketinggalan zaman ketika
Palembang menjadi bagian wilayah Hindia Belanda. Pemerintah berusaha membuka
“ruang daratan” sebagai bagian dari modernisasi kota. Modernisasi ini berusaha
mengubah transportasi “ruang air” menjadi transportasi darat. Caranya adalah
dengan menimbun beberapa sungai yang mengalir di sekitar Kota Palembang.
Sungai Tengkuruk menjadi
sungai pertama yang ditimbun pemerintah Kota Palembang pada 1928.[15]
Kebijakan untuk menimbun sungai dan rawa terus dilakukan untuk memodernisasi
kota. Penimbunan ini juga dilakukan untuk membuka ruang daratan sebagai
pemukiman, pasar, dan tempat-tempat prasarana umum. Pembangunan jalan dan
jembatan yang menimbun sungai tersebut membawa implikasi bagi masyarakat lokal
yang melakukan proses adaptasi terhadap pola daratan yang diciptakan oleh
pemerintahan kolonial Belanda. Penimbunan ini juga menimbulkan masalah baru
dalam kaitannya dengan ekologis di Palembang saat ini.
Sedikit gambaran historis
kultural di atas memberi kesan kepada kita bahwa Kota Palembang mempunyai
potensi besar dalam pembangunan. Potensi ini tidak hanya berkaitan dengan
sumber daya alam yang, tetapi juga warisan sosio-kultural yang cukup kondusif
bagi tercapainya pembangunan Kota Palembang yang humanis. Semua potensi
pembangunan ini merupakan modal dasar yang harus digali dan dikembangkan.
Problem
Palembang Masa Kini dan Peran Sejarah
Dilihat dari usia yang cukup tua, sejatinya,
Palembang semakin berpengalaman, lebih dewasa, dan bijaksana. Idealnya,
Palembang merupakan kota tua yang sudah beradaban modern di era globalisasi
ini. Pada kenyataannya, Kota Palembang belum disejajarkan dengan kota-kota
besar di Pulau Jawa yang lebih dulu maju dan berkembang secara perekonomian,
infrastruktur, sosial, kependudukan dan sebagainya meski usianya jauh lebih
muda. Namun, bukan hal yang tidak mungkin kota ini patut diperhitungkan sebagai
kota metropolitan yang sedang go
international dan akan mampu bersaing dengan kota-kota besar di Pulau
Jawa. Juga, banyak program yang diluncurkan untuk membangun Kota Palembang, dari
Palembang Darussalam sampai Grand dan Green City. Untuk
mewujudkan semua ini, tentu saja, perlu mendapat dukungan dari semua pihak.
Yang tidak kalah pentingnya
adalah perlunya pandangan holistik dalam membangun sebuah wilayah. Dalam kata
lain, para pengambil kebijakan perlu mempertimbangkan berbagai aspek dalam
kerangka bidang-bidang keilmuan. Pembangunan tidak hanya berkaitan dengan
benda-benda mati, tetapi juga melibatkan komunitas manusia dan lingkungannya.
Pembangunan pun harus mempertimbangkan kesinambungan; kesinambungan historis,
sosiologis, ekonomis, politis, dan kultural. Kegagalan pembangunan di Indonesia
adalah karena tidak mempertimbangkan aspek kesinambungan. Kita selalu memulai
pembangunan dari titik nol, memulai dari awal. Karena itu, pembangunan terkesan
mandeg dan bersifat sesaat.
Identifikasi masalah
mutlak diperlukan. Skala prioritas pun harus dilaksanakan. Ada salah seorang
warga Palembang yang memberi beberapa catatan dan penilaian terhadap kota
kelahirannya ini. Melalui blog di dunia
maya yang dimilikinya, dia mengidentifikasi beberapa masalah yang harus segera
mendapat penanganan dari Pemerintah Kota Palembang. Identifikasi masalah ini
merupakan masukan bagi pemegang kebijakan (eksekutif dan legislatif) dalam
membangun dan menyejahterakan warga Kota Palembang. Beberapa problem itu adalah
sebadai berikut.[16]
Pertama, Persoalan banjir.
Hampir sebagian besar warga sangat terpukul ketika banjir pada musim penghujan
menggenangi rumah mereka. Aktivitas perekonomian menjadi terhambat. Sekolah
harus tutup dan para muridnya diliburkan sampai banjir menyusut. Kalau
banjirnya parah dan lama, akan berdampak semakin merosotnya aktivitas
perekonomian warga. Pemerintah sudah seharusnya mempunyai tindakan taktis agar
banjir yang setiap tahun menjadi langganan, itu tidak selalu terulang dan bukan
menjadikannya sebagai budaya banjir. Tentunya, hal ini tidak terlepas dari peran
warga masyarakat. Mereka dapat berperan aktif dan melakukan tindakan nyata
dalam mengatasi banjir yang terjadi setiap tahun.
Kedua, Persoalan jalan dan
alat transportasi. Jalan bukan hanya milik para pengendara kendaraan bermotor
saja. Tapi milik semua dan wajib saling menghormati sesama pemakai jalan
lainnya (seperti sepeda, becak, pejalan kaki). Namun, seiring pesatnya
perekonomian, ternyata berdampak semakin meningkatnya jumlah pengguna kendaraan
bermotor yang tentu saja semakin bertambah sesaknya jalan. Meningkatnya jumlah
kendaraan bermotor juga berbanding lurus dengan angka kecelakaan lalu lintas.
Belum lagi masih banyak jalan berlubang menyebabkan sering terjadinya
kecelakaan. Selain perlu secara berkala meningkatkan kualitas jalan raya,
pemerintah juga sangat perlu dan mendesak menyediakan transportasi publik yang
nyaman dan aman. Bus Trans Musi yang telah disediakan kepada publik baru-baru
ini harusnya bisa mengurangi jumlah kendaraan bermotor, sehingga mengurangi
jumlah polusi emisi gas buang kendaraan bermotor.
Ketiga, ruang publik terbuka
hijau. Akhir-akhir ini menjadi perdebatan dan permasalahan perubahan status
kawasan Gedung Olahraga Bumi Sriwijaya antara sejumlah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) lingkungan hidup dan warga, dengan pemerintah. Akankah hilang ruang publik terbuka hijau
setelah berubah menjadi “Palembang Sport dan Convention Center“?
Ruang publik terbuka hijau di tengah kota pelan-pelan tidak ada lagi. Padahal
akses ke ruang publik terbuka hijau sangat dibutuhkan bagi warga masyarakat
untuk rekreasi dan olahraga agar terhindar dari asap kendaraan bermotor. Bukan
hanya untuk orang-orang yang memiliki status ekonomi menengah atas, tapi
seluruh lapisan masyarakat bisa menikmati ruang terbuka hijau itu. Pemerintah
juga perlu mempertimbangkan wisata sejarah sebagai ruang publik yang sekaligus
melestarikan kekayaan sejarah budaya yang bertebaran di Kota Palembang.
Selain ketiga masalah di
atas, ada satu hal penting yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah
Kota Palembang. Masalah itu berkaiatan dengan keamanan. Hampir setiap hari kita
menyaksikan dan mendengarkan kasus tindakan kriminalitas di wilayah ini.
Kasus-kasus itu berupa tindakan penodongan, pencopetan, penjambretan,
pembunuhan, dan pencurian. Ciri yang paling mudah untuk menggambarkan Kota
Palembang belum aman dari tindakan kriminal adalah pemasangan teralis besi di
rumah tinggal atau perkantoran. Hampir setiap pintu atau jendela rumah dan
perkantoran di Kota Palembang dilengkapi teralis besi untuk mencegah tindakan pencurian.
Pemilik mobil dan sepeda motor juga harus memasang kunci tambahan demi
keamanan. Sebagian masyarakat juga dihinggapi rasa was-was jika harus bepergian dengan angkutan umum. Fenomena ini,
tentu saja, bertolak belakang dengan slogan “Darussalam” di belakang penyebutan
Kota Palembang.
Beberapa masalah di atas
harus segera diselesaikan oleh pengambil kebijakan di Kota Palembang.
Pemerintah dapat memanfaatkan hasil penelitian beberapa bidang keilmuan.
Maksudnya, agar pembangunan itu dapat dirasakan oleh semua pihak dan menekan
dampak yang ditimbulkan. Salah satu
bidang ilmu yang dimanfaatkan adalah ilmu sejarah. Selama ini, orang
memandang sejarah hanya memiliki kegunaan pragmatis, seperti untuk pendidikan
dan pencarian jati diri bangsa. Sementara itu, kegunaan praktis sejarah
dianggap tidak ada, sehingga sejarah tidak termasuk bagian dari intelegensi
bersama. Kalau orang berbicara tentang peranan ilmu sosial dalam pembangunan,
sejarah selalu ditinggalkan sebagaimana dikeluhkan oleh Kuntowijoyo.[17]
Dalam kegiatan
pembangunan ada empat tahap, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, pengawasan (monitoring), dan penilaian (evaluating). Menurut Kuntowijoyo,
sejarah sebagai ilmu akan berguna dalam perencanaan dan penilaian, sedangkan
untuk pelaksanaan dan pengawasan diserahkan pada “kelincahan” sang sejarawan.
Ada tiga cara ilmu sejarah untuk memahami perencanaan dan penilaian
pembangunan. Cara-cara itu adalah melalui sejarah perbandingan (comparative history), paralelisme
sejarah (historical parallelism), dan
evolusi sejarah (historical evolution).[18] Jika ketiga cara sejarah
ini digunakan untuk menyeleaikan beberapa persoalan yang terjadi di Kota
Palembang, penjelasannya adalah sebagai berikut.
Sejarah perbandingan
adalah membandingkan pembangunan di sutu tempat dengan tempat lainnya. Dalam
hal ini Pemerintah Kota Palembang dapat belajar dari kota-kota di Indonesia
atau luar negeri. Dalam masalah banjir misalnya, Palembang dapat belajar dari
Pemerintah Kota Jakarta. Maksud belajar di sini bukan hanya dari keberhasilan,
tetapi dapat juga belajar dari kegagalan Jakarta dalam menangani banjir. Kota
Palembang dapat belajar mengapa sampai saat ini Kota Jakarta belum dapat
mengatasi banjir. Dari Kota Jakarta ini pula Kota Palembang dapat belajar
bagaimana menata ruang publik, pemukiman kumuh, dan sebagainya dari kota lain.
Palembang, sebagai “kota perairan” juga dapat belajar dari kota-kota di Eropa
yang telah berhasil memanfaatkan transportasi air dengan baik.
Melalui sejarah
perbandingan pula Kota Palembang dapat belajar dari Pemerintah Daerah Bali atau
Daerah Istimewa Yogyakarta dalam pengelolaan aset wisata dengan mengembangkan
pariwisata sejarah. Di Yogyakarta tidak dapat mengandalkan pendapatan daerah
hanya dari sektor pertanian yang terbatas. Yogyakarta juga tidak banyak
dijumpai perusahaan-perusahan besar. Karena itu, untuk pemerintah DIY perlu
menggali potensi lain dalam memperoleh pendapatan asli daerah. Caranya, dengan
mengelola secara maksimal potensi sejarah dan budaya yang ada. Hal ini juga
bisa dilakukan oleh Pemerintah Kota Palembang. Dengan demikian,
peninggalan-peninggalan sejarah tidak perlu dihancurkan hanya demi membangun
mal atau hotel dengan alasan modernisasi kota dan menggairahkan sektor
perekonomian.
Masa tertentu juga dapat
diketahui melalui belajar paralelisme sejarah, yaitu kesejajaran antara masa
lalu dan masa tertentu yang sedang dibicarakan. Konon, pada masa Pemerintah
Hindia Belanda, pengelolaan daerah air minum di Palembang merupakan yang
terbaik. PDAM setempat dapat belajar banyak dari sejarah tentang pengelolaan
air minum. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda
juga melakukan penimbunan-penimbunan sungai. Pemerintah kota dapat belajar
banyak dari kasus seperti baik dampak buruk maupun baik dari sebuah kebijakan.
Dengan paralelisme sejarah seperti ini kita dapat belajar bahwa seharusnya
penimbunan sungai dan rawa harus dilakukan dengan bijaksana. Bagaimanapun
daerah-daerah rawa dan sungai harus dibiarkan sebagai tempat peresapan air. Ini
merupakan salah satu solusi dalam mengurangi daerah banjir yang setiap tahun
datang di Palembang. Jadi, paralelisme sejarah dapat digunakan dalam menyusun
tata ruang kota di masa depan.
Kota Palembang yang
diprogramkan sebagai kota internasional ke depan juga dapat belajar dari
paralelisme sejarah. Dari sejarah, sebetulnya, Palembang sudah menjadi kota
internasional sejak dulu. Terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan
etnis tertentu merupakan salah satu buktinya. Pemerintah Kota Palembang dapat
belajar banyak dari kasus seperti ini untuk menjadikan Palembang sebagai kota
internasional [lagi].
Untuk mengetahui persoalan
yang akan timbul akibat pembangunan kita dapat belajar dari evolusi sejarah. Misalnya
ada program bantuan masyarakat miskin. Program seperti ini biasanya memunculkan
tindakan manipulasi data. Persekongkolan sering terjadi antara pihak-pihak
pelaksana tugas di bawah dengan beberapa orang yang seharusnya tidak layak
dikategorikan masyarakat miskin. Contoh lagi, masalah program sertifikasi tanah
untuk perumahan atau perkebunan. Program seperti ini sering menyebabkan
mudahnya jual beli tanah dan penyerobotan tanah milik yang mengakibatkan
gerakan-gerakan massa.
Sebagai catatan akhir
pada bagian ini perlu kiranya dinukilkan beberapa kalimat Kuntowijoyo dalam
kaitannya dengan peran ilmu sejarah dalam pembangunan. Biasanya, bagi analis
pembangunan dapat dirumuskan dengan kata-kata abstrak, seperti industrialisasi
dan demokratisasi. Namun, dalam Daftar Usulan Proyek (DUP) yang akan menjadi
Daftar Isian Proyek (DIP) harus dinyatakan dengan konkret. Pembangunan yang
bersifat konkret itu (jembatan, jalan raya, dam, pabrik, sekolahan, pertambahan
penduduk, daya baca, dan sebagainya) yang bersifat kuantitatif harus
“diterjemahkan” dalam bahasa kualitatif, sehingga dapat dibandingkan, dicari
paralelismenya, atau evolusinya. Di tingkat analisis “bahasa” yang dipakai adalah
“bahasa ilmu” yang bersifat abstrak.
Catatan Akhir
Di usia yang lebih dari 13 abad ini, Kota
Palembang semakin percaya diri sebagai kota internasional yang besar, asri, dan
damai (Darussalam). Untuk mewujudkan kota yang seperti ini, kita perlu berpikir
holistik. Maksudnya, berbagai bidang kajian keilmuan perlu menjadi bahan
rujukan dalam pembangunan. Khusus dalam ilmu sejarah kita dapat belajar pada
masa lampau dalam sejarah Palembang. Memang, peristiwa sejarah hanya terjadi
sekali (unik), tetapi pola-pola sejarah akan berulang. Dengan demikian, ada
kesinambungan dan perubahan antara masa lalu, masa kini, dan masa yang akan
datang. Dengan mempertimbangkan sejarah visioner pola-pola, sejarah yang muncul
kembali itu dapat membantu merumuskan strategi pembangunan Kota Palembang ke
depan.
Ada tiga cara untuk
memanfaatkan sejarah dalam pembangunan. Ketiga cara itu adalah melalui sejarah
perbandingan, paralelisme sejarah, dan evolusi sejarah. Pemanfataan sejarah
dalam pembangunan untuk menghindari pengulangan kesalahan yang sama. Ilmu
sejarah juga dapat menujukkan perlunya kelanjutan dari sebuah kebijakan. Dengan
demikian, ada kesinambungan pembangunan meski rezim politik berganti. Rezim penguasa
boleh berganti, tetapi kebijakan yang dapat mensejahterakan rakyatnya harus
tetap dilanjutkan. Tidak semuanya rezim penguasa sebelumnya adalah buruk.
Sebaliknya, penguasa baru tidak semuanya baik. Demikianlah, sejarah mendidik
kita berpikir kritis dan bersikap arif dalam memahami persoalan.
Daftar
Pustaka
Baderel Munir Amin, et al. Tata Bahasa dan Kamus Baso Palembang. Palembang: Yayasan
Madrasah Najahiyah, 2010.
Buku Peringatan Lima
Puluh Tahun Kota-Pradja Palembang. Palembang: Rhama Publishing House, 1956.
Carmalos, Don.
“Palembang Setengah Abad”, dalam Buku
Peringatan Lima Puluh Tahun Kota-Pradja Palembang. Palembang: Rhama
Publishing House, 1956.
Dedi Irwanto M. Santun, et al. Iliran dan Uluan: Dikotomi dan
Dinamika dalam Sejarah Kultural Palembang. Yogyakarta: Eja Publisher, 2010.
Dedi Irwanto Muhammad Santun. Venesia dari Timur: Memaknai Produksi dan
Reproduksi Simbolik Jota Palembang dari Kolonial sampai Pascakolonial.
Yogyakarta: Ombak, 2011.
Djoko Suryo. Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Historiografi Indonesia Modern.
Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Jurusan Sejarah FIB UGM,
2009.
Husni Rahim. “Sistem Otoritas dan
Administrasi Islam di Palembang (Studi tentang Pejabat Agama di Masa Kesultanan
dan di Masa Kolonial), Disertasi. Jakarta:
Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1994.
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995.
Peeters, Jeroen. Kaum Tuo-kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang, 1821-1942,
terj. Sutan Maimoen. Jakarta: INIS, 1997.
Retno Purwanti. “Situs Bersejarah di
Palembang”, dalam Jati Diri Yang
Terlupakan: Naskah-naskah Palembang, editor Achadiati Ikram. Jakarta:
Yayasan Naskah Nusantara, 2004.
van Sevenhoven, J.L. Lukisan tentang Ibukota Palembang, terj. Sugarda Purbakawatja.
Jakarta: Bhratara, 1971.
[1]Djoko
Suryo, Transformasi Masyarakat Indonesia
dalam Historiografi Indonesia Modern (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional dan Jurusan Sejarah FIB UGM, 2009), h. 28.
[2]Ibid.
[3]Yang
dimaksud dengan pendekatan sejarah visioner di sini adalah sebuah model
pendekatan integratif sejarah linear yang menyeimbangkan penekanan orientasi
kajiannya secara integratif yang menyangkut tiga dimensi temporal, yaitu: masa
lampau, masa kini, dan masa yang akan datang agar mampu memberikan sumbangan
pemikiran dalam menjawab persoalan masa kini dan masa yang akan datang. Lihat ibid., h. 13.
[4]Lihat
Baderel Munir Amin, et al., Tata Bahasa
dan Kamus Baso Palembang (Palembang: Yayasan Madrasah Najahiyah, 2010), h.
2.
[5]Lihat
Retno Purwanti, “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Jati Diri Yang Terlupakan: Naskah-naskah Palembang, editor
Achadiati Ikram (Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara, 2004), h. 34.
[6]Dedi
Irwanto Muhammad Santun, Venesia dari
Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Jota Palembang dari Kolonial
sampai Pascakolonial (Yogyakarta: Ombak, 2011), h. 4.
[7]Don
Carmalos, “Palembang Setengah Abad”, dalam Buku
Peringatan Lima Puluh Tahun Kota-Pradja Palembang (Palembang: Rhama
Publishing House, 1956), h. 87.
[8]Dedi
Irwanto M. Santun, et al., Iliran dan
Uluan: Dikotomi dan Dinamika dalam Sejarah Kultural Palembang (Yogyakarta:
Eja Publisher, 2010), h. 5.
[9]J.L.
van Sevenhoven, Lukisan tentang Ibukota
Palembang, terj. Sugarda Purbakawatja (Jakarta: Bhratara, 1971), h. 14-5.
[10]Husni
Rahim, “Sistem Otoritas dan Administrasi Islam di Palembang (Studi tentang
Pejabat Agama di Masa Kesultanan dan di Masa Kolonial), Disertasi (Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah,
1994), h. 110.
[11]Jeroen
Peeters, Kaum Tuo-kaum Mudo: Perubahan
Religius di Palembang, 1821-1942, terj. Sutan Maimoen (Jakarta: INIS,
1997), h. 6.
[12]Perincian
Penduduk di Kota Palembang pada 1955 itu adalah: 241.089 jiwa warga negara
Indonesia, 37.737 jiwa keturunan China, 2.030 jiwa Belanda, 860 jiwa India,
3.629 jiwa Arab, 30 orang Amerika, 9 orang Jepang, 1 orang Jerman, 3 orang
Belgia, dan 10 orang dari negera-negara Barat lainnya. Lihat Buku Peringatan Lima Puluh Tahun Kota-Pradja
Palembang (Palembang: Rhama Publishing House, 1956), h. 163.
[15]Dedi
Irwanto, Venesia dari Timur, h. 45; Buku Peringatan Lima Puluh Tahun Kota-Pradja
Palembang, h. 112.
[17]Kuntowijoyo,
Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta:
Bentang Budaya, 1995), h. 177.
[18]Ibid., h. 177-8. Kerangka berpikir ini
selanjutnya digunakan dalam analisis selanjutnya dalam tulisan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar